Jakarta – Komitmen Kementerian Agama dalam penerapan kebijakan Pesantren Ramah Anak menjadi sorotan dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), Kamis (7/3). Dalam diskusi tersebut, Anggota DPR RI Komisi VIII menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan guna memastikan kebijakan tersebut berjalan efektif.
Sebagai anggota parlemen yang membidangi agama dan sosial, ia mengapresiasi kebijakan Pesantren Ramah Anak, yang berlandaskan berbagai regulasi dan peta jalan untuk mencegah tindakan kekerasan di lingkungan pesantren. Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesadaran dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pengelola pesantren dan masyarakat.
“Kasus kekerasan di pesantren yang muncul di media sering kali terjadi di pesantren ‘abal-abal’ yang tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas. Hal ini menyebabkan lemahnya pengawasan dari jejaring pesantren lainnya,” ujarnya.
Untuk memastikan implementasi yang lebih sistematis, ia mengusulkan pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di Kementerian Agama. Menurutnya, dengan adanya Ditjen Pesantren, tata kelola pesantren dapat lebih terfokus, mulai dari regulasi, pengawasan, hingga pemberdayaan dalam berbagai aspek, termasuk pendidikan, ekonomi, dan sosial.
“Komitmen mewujudkan pesantren ramah anak tidak cukup hanya dalam bentuk kebijakan, tetapi juga harus diiringi dengan kelembagaan yang kuat. Ditjen Pesantren akan menjadi solusi agar pesantren mendapatkan perhatian khusus dalam pengelolaannya,” tambahnya.
Diskusi semakin menarik dengan hadirnya sejumlah narasumber lain, seperti Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriani, Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad, serta pengamat dari Rumah Literasi 45, Andreas Tamba.
Para peserta sepakat bahwa penguatan pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam harus terus dikawal, agar tetap menjadi lingkungan yang aman, nyaman, dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa.