JAKARTA – Juni menjadi salah satu bulan penting yang mewarnai catatan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Istimewanya lagi, di bulan ke enam sistem penanggalan masehi ini, lahir 4 presiden Indonesia, mulai Bung Karno, Soeharto, BJ Habibie, dan terakhir ada nama Joko Widodo yang kini masih menjabat sebagai Presiden Indonesia ketujuh.
Tanggal 1 Juni menjadi tonggak perjalanan Republik ini sebagai sebuah negara bangsa. Publik Indonesia memperingatinya sebagai Hari Lahir Pancasila. Hal ini sejalan dengan Keppres Nomor 24 Tahun 2016 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo yang isinya menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila serta menjadikan tiap tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional.
Pemilihan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila merujuk pada momen sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPKI) dalam upaya merumuskan dasar negara Republik Indonesia. Dalam pidatonya Soekarno menyampaikan ide serta gagasannya terkait dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamai “Pancasila”. Panca artinya lima, sedangkan sila artinya prinsip atau asas.
Saking monumentalnya terlahirnya Pancasila, wajar bila publik kemudian menjadikan 1 Juni menjadi momentum perayaan keberagaman. Pancasila tidak hanya sebagai landasan bernegara, namun menjadi pedoman kebangsaan, simfoni yang meng-arrangement berbagai keragaman menjadi satu kekuatan.
Sayangnya peringatan 1 Juni pernah tercoreng oleh Insiden Monas, Insiden Monas adalah istilah yang digunakan oleh media dalam laporannya mengenai serangan yang terjadi pada aksi yang dilakukan oleh “Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” (AKKBB) di Monas pada 1 Juni 2008.
Salah satu korbannya adalah KH Maman Imanulhaq. Kiai Maman yang kini menjabat sebagai Anggota Komisi VIII DPR RI, saat Insiden Monas adalah pimpinan Ponpes Al Mizan Jatiwangi, juga tokoh Islam moderat yang gemar mengkampanyekan kebebasan beragama dan pluralisme. Saat Insiden Kiai Maman dikeroyok sejumlah orang sehingga harus mendapatkan 5 jahitan di kepala, dagu robek, serta luka dalam pada tulang rusuk sakit akibat diinjak-injak.
Menurut Kiai Maman kepada wartawan mengungkapkan, insiden ini bukan hanya menyasar massa AKKBB yang kala itu menggelar aksi simpatik di Monas, namun pula disinyalir sebagai bagian serangan terhadap Pancasila dan tentunya terhadap perjuangan keberagaman bangsa.
15 tahun berlalu semenjak insiden berdarah itu, Kiai Maman kini merasa gembira bahwa kehidupan berbangsa di Indonesia jauh lebih baik. Kata politisi PKB itu, kini tak ada lagi ruang-ruang pemaksaan kehendak kelompok, hegemoni mayoritas, dan semua memiliki kesadaran untuk menjunjung tinggi kesetaraan hak dalam peribadatan serta keberagaman.
“Ini yang perlu terus kita lestarikan sebagai salah satu warisan perjuangan Gus Dur. Pancasila jangan lagi dibentur-benturkan dengan agama karena nasionalisme merupakan bagian dari komitmen keimanan,” ujar Kiai Maman menutup.