[Jakarta] Pada acara Seminar Nasional tentang Kebijakan Perlindungan Pembela HAM, 8 Juli lalu, KH. Maman Imanulhaq anggota Balegnas DPR RI memaparkan pengalamannya. Ia teringat pada kejadian 1 Juni 2008 di Monas, bersama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Dirinya dan beberapa orang anggota aliansi tiba-tiba dirinya diserang oleh sekelompok orang tidak bertanggung Jawab. Ia pun menderita luka-luka di kepala, berdarah -darah karena mengalami luka sobek.
Kang Maman, begitu ia akrab disapa, kemudian dijenguk oleh Gus Dur. “Pada saat itu Gus Dur menangis sambil berkata; tidak boleh lagi ada darah yang mengalir untuk merayakan perbedaan” ungkapnya menirukan Gus Dur. Gus Dur pun sempat bercanda “Anda cukup mendapatkan sobek beberapa jaitan, tapi anda telah dapat lebih terkenal dari Sutrisno Bachir.”
Menurut Maman, pembela Hak Asasi Mausia (HAM) akan lebih dikenang daripada yang berjuang hanya untuk pencitraan politik belaka. Pada saat seseorang mendapatkan kejayaan politik dari hal yang tidak jelas, maka saat dirinya terjatuh tidak akan ada kemuliaan yang tersisa. Berbeda dengan pejuang HAM yang akan dikenang dengan perjuangan dan nilai idealismenya. Maman mencontohkan dirinya yang menjadi seorang anggota DPR atas dukungan masyarakat sipil dan pegiat HAM.
Berkaitan dengan materi tentang perlindungan pembela HAM, menurutnya bernegara itu adalah berkonstitusi, sehingga bagi warga negara mempunyai kewajiban untuk membela HAM dengan politik yang rahmatan lil’alamin. Tidak ada perbedaan dalam persoalan kewarganegaraan, hitam, putih, Islam, Kristen, Hindu atau apapun itu, intinya adalah warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Justru yang menjadi persoalan adalah ketika negera gagal dalam memberikan perlindungan, maka akan lahirlah pembela HAM.
Selanjutnya Maman memaparkan pokok pikirannya dengan menjabarkan beberapa poin. Pertama bahwa HAM masih dianggap bermusuhan dengan agama. “Saya dimusuhi karena dekat dengan Ahmadi, begitu juga dengan Syi’ah dll. Yang saya lakukan sesungguhnya hanya menegaskan konstitusi dan hak warga negara yang dijamin dalam undang-undang dasar,” katanya. Sehingga tidak ada dasarnya agama bertentangan dengan HAM, sebaliknya justru harus saling melengkapi.
Kedua, HAM bermasalah dengan demokrasi ketika melahirkan Hitler dan HAM juga bertentangan dengan nasionalisme. Ketika Soekarno selalu mendengungkan nasionalisme, Syahrir justru berkomentar bahwa Soekarno terlalu mudah mengumbar nasionalisme. Sesungguhnya konsep yang diharapkan adalah warga negara tanpa perbedaan dalam hak dan kewajiban serta terbebasnya dari penindasan, diskriminasi dan terpenuhinya hak-hak dasar mereka.
Yang terkahir adalah berkaitan dengan revisi Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang HAM. Menurutnya perlu dorongan publik dan perlu rancangan undang-undang khusus tentang pembela HAM. “Kalau bisa ketika merumuskan regulasi perlindungan pembela HAM buatlah secara khusus, karena hal tersebut berkaitan dengan anggaran” tuturnya.
Hal penting lain dari soal anggaran adalah perlu adanya persamaan persepsi untuk memajukan HAM di Indonesia. “Sampai saat ini belum ada pelatihan atau pembekalan HAM di sekolah-sekolah maupun pondok pesantren, padahal anggaran pendidikan kita 20 persen. Apabila telah ada dalam pendidikan tentang HAM, sehingga masyarakat dewasa maka tidak akan ada ancaman terhadap pembela HAM” ungkapnya. Sebagai penutup Maman menyampaikan bahwa sesungguhnya HAM bukanlah sekedar tentang perbedaan, akan tetapi menjadi ukuran sejauh mana eksitensi negara diakui. [elsa-ol/Yayan-@yayanmroyani/001]
Sumber: elsaonline.com